Mp3 Song

Effect Drop Leaves

Animation

Mouse Point

Mini Rage Face Whatever Dude Smiley

effect

sparckle

KESULTANAN KERAJAAN "BUTON"

Bendera Buton
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bahagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Sejarah Awal 
Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubralebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkanRaja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Pulau Buton
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa yang digunakan dalamKerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasaMelayu yang dipakai di MalakaJohor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Raja Buton Masuk Islam

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
First minister of Buton
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Hukum
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Senarai Sultan Buton

1) 1491-1537: Sultan Murhum
2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi
3) 1566-1570: Sultan La Sangaji
4) 1578-1615: Sultan La Elangi
5) 1617-1619:  Sultan La Balawo
6) 1632-1645: Sultan La Buke
7) 1645-1646: Sultan La Saparagau
8) 1647-1654: Sultan La Cila
9) 1654-1664: Sultan La Awu
10) 1664-1669: Sultan La Simbata
11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
12)1680-1689: Sultan La Tumpamana
13) 1689-1697: Sultan La Umati
14) 1697-1702: Sultan La Dini
15) 1702: Sultan La Rabaenga
16) 1702-1709: Sultan La Sadaha
17) 1709-1711: Sultan La Ibi
18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi
19) 1712-1750: Sultan Langkarieri
20) 1750-1752: Sultan La Karambau
21) 1752-1759: Sultan Hamim
22) 1759-1760: Sultan La Seha
23) 1760-1763: Sultan La Karambau
24) 1763-1788: Sultan La Jampi
25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu
26) 1791-1799: Sultan La Kopuru
27) 1799-1823: Sultan La Badaru
28) 1823-1824: Sultan La Dani
29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa
31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar
33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
34) 1914: Sultan Muh. Husain
35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali
36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi
39) mei 2012-19 july 2013:  La Ode Muhammad Jafar
40) 13 des. 2013 – sekarang La Ode Muhammad Izat Manarfa

Kehidupan sosial dan adat istiadat

La diwajibkan ada pada nama hadapan lelaki Buton, Wa digunakan pada hadapan wanita Buton.
Dalam hubungan kekerabatan masyarakat Suku Buton, seorang laki-laki bertugas mencari nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat barang-barang dari tanah liat, menenun dan menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki.
Sejak dulu, orang Buton juga sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat hasil-hasil kemajuan di bidang sosial.
Perkawinan dalam kebudayaan Buton sudah bersifat monogami. Setelah menikah, pasangan akan tinggal di rumah keluarga wanita sampai sang suami anggup mendirikan rumah sendiri. Tanggup jawab membesarkan anak ada di bahu ayah dan ibu. Rumah tempat tinggal suku Wolio didirikan di atas sebidang tanah dengan menggunakan papah yang kuat, dengan sedikit jendela dan langit-langit yang terbuat dari papan yang kecil dan daun kelapa.

Bahasa Buton


  • Foma = makan
  • Landoke = monyet
  • Sikola = sekolah
  • Umbe = eya
  • Cia = tidak
  • Baca'a = membaca

Adat dan Budaya
 Berikut ritual-ritual dan pesta adat tersebut:
Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul awal.
Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
Tuturiangana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan
Mataa yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yeng merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh
Pekande-kandea yaitu pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan
Karia yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual
Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga
Ritual Bangka Mbule-Mbule Puluhan warga mengangkat perahu berisi dua boneka dan hasil bumi untuk dilarungkan di Pantai Wangi-Wangi, Wakatobi, Sultra 


PANTANG LARANG BUTON

  • Pastikan makanan lketika makan tidak kering
  • Selepas makan pinggan di isi dengan air
  • Jangan mengoyang kan kaki semasa makan
  • Hantaran kahwin wajib ada  meter kain kapan

Pakaian Adat Buton


Baju Kombo
Pakaian Adat Buton
Baju
 Kombo merupakan pakaian kebesaran kaum wanita Buton yang terbuat bahan 
dasar kain satin dengan warna dasar putih yang dihiasi dengan manik-manik, benang emas atau perak serta berbagai ragam hiasan yang terbuat dari emas, perak maupun kuningan. Pakaian ini terdiri atas baju dengan bawahan sarung yang disebut Bia Ogena (sarung besar). Pemilihan warna putih pada baju kombo diunakan sebagai lambang kesucian, kepolosan wanita Buton, serta harapan-harapan atas kebaikan, kesuburan, dan kesejahteraan. 

Baju Kaboroko
Pakaian Adat Buton
Berbeda dengan 
baju Buton lainnya, baju kaboroko mempunyai kerah yang disertai dengan berbagai macam hiasan dan aksesoris, serta empat buah kancing logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada lengan baju. Penggunaanbaju kaboroko 
dipadukan dengan Samasili Kumbaea atau Bia-Bia Itanu yaitu berupa sarung yang memiliki lapisan dalam berwarna putih dan lapisan luar berwarna dasar hitam dengan corak garis-garis. Penggunaan baju Kaboroko bagi wanita Buton digunakan sebagai pembeda strata sosial masyarakat setempat. Makna yang tersimpan dibalik penggunaan baju kaboroko adalah sebagai perlindungan terhadap hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara.

Baju Kambowa

Pakaian Adat ButonKambowa merupakaan pakaian adat Buton berbentuk ponco dan tidak memiliki kerah yang digunakan oleh para ibu, gadis maupun anak-anak dalam berbagai upacara adat maupun sebagai pakaian hari-hari pada masa lampau. Bagi kaum bangsawan penggunaan baju Kambowa ini biasa dipadukan dengan kain sarung yang terdiri dari tiga lapis, sedang untuk rakyat biasa hanya menggunakan satu lapis sarung.

Baju Perangkat Adat (Pakeana Syara)

Pakaian Adat ButonSeperti namanya pakaian ini digunakan oleh para perangkat adat agama masjid agung Keraton Buton, Sultan dan Perangkat adat lainnya. Pakeana Syara merupakan pakaian penutup tubuh berbentuk jubah lengan panjang yang dihiasi dengan motif  tenunan tradisional Buton berupa garis-garis yang membujur dan melingkar. Penggunaan motif hias berupa garis tersebut merupakan simbol kepatuhan terhadap hukum adat dan agama yang wajib untuk dijalankan.

Pakaian Ajo Tandaki
Pakaian Adat ButonPakaian Ajo Tandaki terdiri dari selembar kain besar (Bia Ibeloki) berwarna hitam yang hanya dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya. Pakaian yang sangat mirip dengan pakaian ihram jemaah haji ini biasa digunakan oleh seorang anak laki-laki ketika akan diislamkan (disunat) bahkan bisa juga dikenakan oleh pria yang akan menikah. Kelengkapan pakaian terdiri dari Tandaki  (semacam mahkota) yang dibentuk dengan berbagai hiasan serta ikat pinggang yang diukir dengan kalimat Tauhid dan sebilah keris.

Pakaian Ajo Bantea
Pakaian Adat Buton
Pakaian adat ajo bantea hanya terdiri dari celana panjang (sala arabu) dan dijadikan sebagai lambang keterbukaan dan kesederhanaan para anak golongan bangsawan tanpa memandang status sosialnya masing-masing. ajo bantea atau pakeana mangaanaana merupakan pakaian yang khusus dikenakan oleh anak-anak yang belum menduduki jabatan khusus dalam sistem pemerintahan kesultanan buton. sebagai pelengkap ditambahkan pula penggunaan kampurui bewe patawala atau kampurui tumpa atau kampurui  palangi yang dikenakan bersama lepi-lepi, keris, sarung samasili kumbaea atau bia ibeloki , dan bia ogena. 

Pakaian Balahadada
Pakaian Adat Buton
Pakaian Balahadada merupakan pakaian kebesaran yang dikenakan oleh kaum laki-laki Buton baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Pakaian dengan warna dasar hitam ini dijadikan sebagai perlambang keterbukaan pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Kelengkapan pakaian Balahada terdiri atas destar, baju, celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan pasamani diseluruh pinggirannya.  

MAKANAN TRADISIONAL BUTON


"

Makanan tersebut akan semakin niknat dimakan dengan sambal serta IKAN BAKAR atau ikan Parende(masak) . Dan biasanya di daerah Buton, Kasuami disantap dengan dicampurkan TAIMINA(ampas dari proses pembuatan minyak kelapa secara manual). kasuami merupakn makanan tradisional yg biasa di santap masyarakat buton. Kasoami merupakan kuliner olahan dari ubi kayu(singkong), yang dalam bahasa buton biasa disebut kau java/kuri sau dan lain-lain(tergantung sebutan dari daerah masing-masing karena buton memiliki banyak suku jadi memiliki banyak bahasa pula).

"Kambewe Gola"

kambewe gola

Kambewe gola adalah makanan yang terbuat darijagung muda. Kambewe gola terbuat dari jagung muda yang dihaluskan kemudian dicampur kelapa dan gula merah. Setelah tercampur, adoannya dimasukkan ke dalam kulit jagung muda yang telah dibersihkan lalu di masak.

"Tuli-tuli"
tuli-tuli
Tuli-tuli adalah camilan khas pulau Buton yang sangat digemari oleh semua kalangan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Dasarnya yang diperbuat daripada ubi. Bentuknya yang menyerupai angka delapan menjadi ciri khas dari camilan ini. Ada satu hal yang tidak boleh terpisahkan dari tuli-tuli, hal itu adalah sambal. Tuli-tuli akan terasa nikmat bila dimakan sambil dicocol ke dalam sambal. Tuli-tuli dan sambal adalah perpaduan yang sempurna.

"Burangasa"
burangasa
Jika tuli-tuli cocok dinikmati pada sore hari, maka burangasa sangat cocok dinikmati pada pagi hari. Burangasa dapat dijadikan sebagai pilihan terbaik untuk menemani kamu menikmati teh atau kopi saat sarapan. Rasa kacang merah yang lezat dipadu manisnya gula merah menjadikan camilan ini cocok dinikmati oleh semua usia.

RUMAH ADAT BUTON

Image result for rumah adat suku buton

Tarian Tradisional Buton


  • Tarian Linda
Tari Linda merupakan salah satu tari tradisional Buton, yang ditarikan gadi-gadis sebagai bagian dari ritual Posuo, yakni setelah 7 hari 8 malam para gadis menjalankan ritual tersebut. Adapun tarian yang berasal dari Kelurahan Waborobo Buton ini memperagakan gerakan dengan mengenakan selendang.

  • Tarian Lulo
Tari Lulo Alu adalah tarian yang berasal dari TokotuaKabupaten BombanaSulawesi Tenggara. Tarian ini dilaksanakan sebagai salah satu ritual adat Tokotua atas rasa syukur dan terima kasih kepada sang pencipta atas melimpahnya rezki dari hasil panen beras pada masa lalu.
  • Tari Balumpa
 Tarian Balumpa adalah tarian tradisional yang mencerminkan kegembiraan masyarakat nelayan wakatobi Binongko dan Buton dalam menghadapi ombak demi menafkahi keluarga. Tari Balumba biasanya dipertunjukan untuk menyambut kedatangan tamu kehormatan dari luar daerah.






Alat Muzik Buton

Musik tradisional ini, selalu dimainkan pada saat-saat tertentu misalnya pda acara pesta adat . Alat musik tradisonal ini, Mengeluarkan Bunyi-bunyaian yang sangat indah sehingga menjadi sesuatu. Parade musik tradisional pulau buton ini telah diakarkan secara turun temurun sejak zaman kesultanan buton.


CERITA DONGENG

Tula-tulana Wa Ndiu-Ndiu / Cerita Ikan Duyung di Tanah Buton


di Pulau Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, punya cerita rakyat mengenai ikan duyung ini, alias Diu. Dahulu kala hiduplah seorang wanita dengan dua orang anaknya, dia hanya tinggal bertiga karena suaminya telah tiada. Kedua anaknya diberi nama, sang kakak bernama La Nturungkoleo dan sang adik bernama La Mbata-mbata . Mereka hidup dalam kemiskinan, dan sangat memprihatinkan, untuk makan sehari-hari begitu susahnya, akan tetapi namanya seorang ibu tidak ingin melihat anaknya menderita dan mati kelaparan. Si Ibu berusaha mati-matian untuk membahagiakan kedua putranya, karena di daerah kami seorang anak laki-laki mempunyai panggilan khusus yaitu dipanggil dengan awalan LA, misalnya LA ANDI, begitu pula dengan perempuan dipanggil dengan awalan WA misalnya WA ENI. Lanjut.......suatu hari kedua anaknya merintih ingin makan ikan, dan merengek pada ibunya untuk mencarikan ikan untuk mereka, maka si Ibu berangkatlah ke laut untuk mencari ikan, dan kepergiannya itu membuatnya untuk pergi dan tidak kembali lagi, konon si Ibu telah menjadi seekor duyung, yang dikenal dengan sebutan WA NDIU-NDIU, setiap hari kedua anak itu pergi ke laut menanti ibunya untuk kembali pada mereka, akan tetapi takdir berkata lain ibunya telah pergi dan takan pernah kembali, menyesalah kedua anaknya, gara-gara ingin makan ikan membuat ibunya pergi untuk selamanya, maka tinggalah mereka berdua sebatang kara di dunia ini. Setiap kali kedua anak itu ketepi laut, mereka sering bernyanyi untuk menghibur diri mereka, dan berharap si Ibu mendengarkan dan mau kembali ke daratan, berikut penggalan lagunya : "Wa Ina Wa ndiu-ndiu maipa susu andiku, andiku La Mbata-mbata, wa kaaku La Ntrungkoleo" (Wahai mamaku si ikan duyung, marilah susuin adikku, adikku La mbata-mbata, kakakku La nturungkoleo) Semoga kita bisa mengambil hikmah dari penggalan cerita rakyat di atas, yaitu kita harus senatiasa berbakti kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, yang telah melahirkan dan merawat kita dengan penuh kasih sayang, dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa.....

FAKTA MENARIK PASAL BUTON

Lubang Ghaib Masjid Buton Dipercayai Tembus Ka’abah





No comments:

Post a Comment